Guru Melati
Berdiri termangu di ruang majelis guru dengan berurai air mata. Bu guru Melati hanya mentap dan menepuk pundak Intan dengan lembut. Gadis mungil yang menjadi muridnya selama 4 tahun, dari kelas dua hingga kelas lima sesegukan tanpa dapat dihentikan. Intan menyampaikan berita yang mengoyak perasaannya, Ayahnya akan pindah tugas ke Duri, tentu saja Intan akan diajak pindah bersama neneknya. Mereka tinggal bertiga di dunia ini, Intan gadis piatu yang diasuh neneknya, ayahnya Husin membesarkan Intan sedari lahir tanpa didampingi siapapun. Lelaki dewasa yang bertahan tidak menikah lagi setelah istrinya meninggal.
Raport yang dipegang Intan basah, air matanya masih menetes satu-satu. Bu guru Melati masih membujuknya agar tidak terlalu bersedih, karena perpisahan dengan teman itu hal biasa, nanti di sekolah baru, tentu intan akan mendapatkan teman yang lebih banyak. Intan hanya menggelengkan kepalanya. Teman seperti di desa Sukajadi tak akan ditemukan, mereka satu kelas bagaikan saudara, setiap akhir pekan mereka berkumpul dan menginap secara bergantian di rumah Intan, ataupun di rumah Inong, sesekali di rumah bu guru Melati. Jalinan pertemanan diantara murid dan guru yang jarang ditemukan.
Masak bersama dan disantap bersama di selasar pantai Bukit Batu, atau ke hutan Bakau yang ditata menjadi tempat wisata penduduk kampung, sambil memancing. Hal yang tak akan ditemukan lagi, ujar Intan. Guru Melati hanya mendengarkan celotehnya yang tetap tidak ingin pindah sekolah mengikuti ayahnya ke Duri, dan tinggal di kompleks perumahan karyawan Pertamina. Intan ingin tetap di kampong Sukajadi dengan bu guru Melati.
Inong berjalan memasuki ruang majelis guru memberi tau Intan, bahwa ayahnya sudah menunggu di bawah pohon manggis yang berdiri kokoh sebagai peneduh di hamparan tanah yang luas di depan sekolah. Keengganan Intan untuk pulang membuat Husin ayahnya menjemput langsung ke ruangan majelis guru. Segukan Intan semakin keras, dari bibir mungilnya terucapkan kaalimat yang membuat guru Melati terkesima,
“ Saye nak sekolah di sini je, sampai tammat, boleh tinggal dengan bu guru, saye tak nak ikut ayah pindah ke Duri”
Raungan Intan menyesakkan dada guru Melati. Mata Husin ayah Intan nanar menatap anak gadisnya bergantian menatap guru Melati, wanita yang dicintainya semasa kuliah dulu, masa lalu yang tak akan dilupakan.
“Intan, kamu pulang dulu dengan ayah ya nak, nanti bisa didiskusikan dengan ayah dan nenek keinginan Intan untuk tetap bersekolah di kampung ini. Tidak baik menangis berlama-lama di sekolah, temanmu akan heran, dan bertanya-tanya, apakah Intan menangis karena tinggal kelas”. Ujar guru Melati.
Air mata Intan diseka pak Husin dengan sapu tangan yang dikeluarkan dari sakunya, mereka berdua beranjak meninggalkan kelas menuju mobil dinas jenis pick up disusul Inong dan guru Melati. Sebelum Intan membuka pintu mobil, dia masih menyempatkan dirinya memeluk guru Melati dengan berkata lirih,” saye nak sekolah sampai tamat dengan ibu Melati, tak ape tinggal dengan ibu sampai tammat sekolah, boleh ye bu?” tanya Intan dengan deraian air mata dan segukan suara yang meredam isak tangisnya.
Kendaraan yang dikemudikan pak Husien berjalan meninggalkan jejak ban mobilnya di halaman sekolah yang selalu lembab. Inong menggenggam jemari guru Melati, menatap wajah tirus yang teduh, selalu tersenyum disetiap ada keriuhan dan pertikaian di dalam kelas. Guru yang mereka kagumi. Inong menengadahkan kepalanya menatap guru Melati, tanpa sepatah kata mereka berjalan menuju ruang majelis guru. Pancaran iba nampak dibola matanya, Intan dan Inong peserta didik yang juga sahabat guru Melati selama bertugas di desa kecil pesisir Selat Bengkalis.
Derik pintu ruang majelis guru membuat suasana sedih terpecahkan diiringi teriakan Atan memanggil Inong dengan suara khas anak lelaki yang menuju akil baligh.
” Ha.. di sini dikau Nong? Tak nak cakap kat aku,” ujar Atan dengan wajah penuh tanda tanya.
“Ngape mate dikau rebak?” heeeiiii,,, dikau tinggal kelas? Tak naik? Ape pasal? Pertanyaan beruntun Atan didiamkan Inong. Gadis itu melengos dan mengusap air matanya.
Guru Melati memecahkan suasana sedih dengan mengajak murid-muridnya pulang bersama-sama. Atan menuju tempat sepedanya bersandar di bawah pohon manggis, Inong dan Aling yang diam tanpa suara sedari tadi mengikuti dari belakang.
Mereka menghela sepeda menuju jalan raya di depan sekolah yang semi permanen. Suasana siang membuat jalan sedikit berdebu, angin laut yang kering menerpa kulit mereka yang legam. Inong mendayung sepedanya berboncengan dengan Aling, sedangkan guru Melati mendayung sepeda yang belum lunas cicilannya, sepeda yang dibeli di Toko Ati. Inong dan guru Melati mendayung sepeda perlahan dan Atan mengiringi dari belakang dengan mengeluarkan suara gaduhnya sambil bersiul atau menyapa setiap penduduk yang bepapasan dengan rombongan kecil yang bersepeda menuju rumah masing-masing.
Rombongan sepeda ini terhenti ketika dari belakang terdengar klakson mobil dan teriakan suara Intan. Ayah Intan menepikan mobilnya, turun dari mobil diikuti oleh wanita paruh baya, ibu Marina, neneknya Intan.
“Bu Guru, saye nak ke Bengkalis bawa Intan berlibur sekalian ziarah kubu bah Husin. Ayah Intan nak ke Duri, tadi Intan cakap, tak endak ikut ayah die pindah ke Duri, nak menamatkan sekolah di sini. Saye rase bolehlah Intan same saye di kampong ni aje sampai Intan tamat. Die cakap tak ape tak ikut ayah die, asal tetap belaja dengan bu guru Melati”
Tanpa jeda bu Marina menjelaskan tujuannya berhenti di pinggir jalan desa,hanya ingin menyampaikan langsung hasil rundingan mereka beranak cucu, agar guru Melati bisa langsung mendengarkan keinginan cucunya, bagaikan tak ada waktu lagi.
Bu Marina, wanita yang dulu menjodohkan Husin dengan keponakan suaminya, yang membiayai kehidupan Husin selama kuliah di Pekanbaru, dan tidak menyetujui hubungannya dengan Husin.
Inong bertepuk tangan dan menjerit kegirangan sambil berpelukan dengan Aling, mendengarkan Intan tak ikut pindah ke Duri. Intan tersenyum bahagia mendengarkan neneknya menyampaikan unek-uneknya pada bu guru Melati. Ayah Intan Husin menatap lekat guru Melati tanpa berkedip, perasaan yang sama semasa kuliah itu tak pernah berubah walaupun masa itu sudah terlewati lama, rasa itu tetap tumbuh dan berkembang dengan syahdu.
Guru Melati hanya tersenyum dan mengagguk setiap bu Maria menyampaikan hasrat cucunya. Perbincangan di tepi jalan itu usai setelah Intan berlari memeluk guru Melati. Husin mendekati Melati dan meyalaminya dengan ucapan terimakasih. Melati hanya menerima uluran tangan Husin bergeming dengan wajah pias tanpa sepatah kata, hanya anggukan dan lirih menjawab.
“ baiklah Intan, mike same saye sampai tammat SD ye, isuk SMP sekolahlah di kota, di Duri kat ayah mike” ujar Melati lirih dan menyambut uluran tangan memeluk pinggangnya.
Posting Komentar untuk "Guru Melati"