Biduk
Aliran sungai Bukit Batu terlihat tenang, bermuara ke laut Bengkalis. Inong mendayung biduk sambil bersenandung iramanya beraturan, diikuti siulan dari pita suara Rizal.
Aku menengadahkan kepala menatap rimbunan pohon Bakau yang berwarna hijau tua. Ada perasaan damai ketika sampan ini bergerak sesuai dengan kekuatan dayungan Rizal dan Inong. Gelombang kecil kurasakan ketika biduk berpapasan dengan pompong.
“ Wooooiiiii, nak kemaneeee Jaaaal, ibuuuuuu” suara lantang yang ku kenal, Atan muridku yang selalu mengikuti ayahnya menjaring ke lautan lepas sepulang sekolah dan keesokan harinya setelah subuh, perahunya akan merapat di dermaga desa menurunkan ikan hasil tangkapan mereka. Aku melambaikan tangan, membalas lambaiannya.
Biduk oleng ketika gelombang pompong yang dikendarai Atan dan ayahnya berpapasan dengan kami, aku terkejut, Inong menenangkanku. Tak berapa lama pontoon yang membawa kayu balak melintas dengan deruman suara mesinnya, riakan gelombang yang dihasilkannya lebih kuat.
Perasaan cemas selalu melandaku ketika berpapasan dengan pontoon pembawa kayu balak. Inong kulihat mengucapkan istighfar, bibirnya komat-komit wajahnya pias, matanya tertuju ke akar bakau, tak berkedip.
Rijal mendayung dengan sekuat tenaga menjauhi Bakau, menuju ke tengah sungai, buliran keringat jatuh di keningnya. Aku bertanya pada Inong, mengapa mendayung sampan ke tengah sungai seolah-olah menjemput gelombang yang dihasilkan pontoon. “ Ade datuk Bu”, jawabnya lirih, kulihat dari jauh Buaya bergerak menelusuri pinggir sungai dibawah akar Bakau.
Penulis : Lasia Kabran
Posting Komentar untuk "Biduk"