Dusta
Aku menghentikan langkahku ketika namaku dipanggil, kupalingkan kepalaku, Rani berlari pelan di atas high hillnya menuju ke arahku. Wanita manis bertubuh mungil yang selalu berbagi certita mendekatiku dengan nafas ngos-ngosan. “Doni, benar apa yang kamu sampaikan padaku, ternyata tampilannya dan tutur katanya tak sesuai dengan omongannya”. Aku hanya tersenyum dan mengangguk, rahasia umum di kantorku, biarlah Rani menilai sendiri atasannya.
Cafetaria yang terletak di sebelah barat area parkir kantor dipenuhi karyawan yang ingin menikmati makan siang. Pohon trembesi melindungi cafeteria dengan kekokohan dahan dan rantingnya, ada keteduhan di sana. Kulihat di sudut ruangan masih kosong, aku menuju bangku kosong yang terletak di pojok kafetaria tepat disamping jendela yang terbuka lebar.
Dari sini aku dapat mengamati tingkah polah kawan-kawan yang saat ini duduk berkelompok dengan koleganya, berbincang serius dan diselingi gelak tawa. Aku mulai melihat daftar menu yang tertera di atas meja, sayur asem, sambal terasi dan goring ikan asin peda sepotong, sederhana dan yang kusuka.
Suapanku terhenti ketika Rani mendekati mejaku, kemudian dia memesan menu makan siang yang sama dengan ku. Sambil menunggu pesanannya, Rani menanyakan beberapa hal padaku. Rani karyawan pindahan dari Bandung, dan kami tidak satu devisi. Aku yang dianggapnya sebagai karyawan lama dan memiliki jabatan yang sama dengannya.
Aku selalu menjawab dengan jujur apa yang ditanyakannya , tentu saja informasi yang dibutuhkannya falid. Tetiba Rani dengan emosi dipukulnya meja, aku terkesiap ketika terlontar dari bibir mungilnya, dia merasa tertipu dengan tampilan bosnya yang bertutur relegius namun sikapnya bikin gua mampus, jeritnya sambil meneguk air hangat yang dipesannya.(lasiakabran)
Posting Komentar untuk "Dusta"