Koreansan 6 A. 1
Aku melanjutkan makan, pada suapan ke dua kak Desi baru menggeserkan kursi untuk duduk disampingku. Matanya melihat pria yang menekur di meja sambil mengutak-atik Hpnya. Kak Desi menyondongkan tubuhnya sambil berbisik, “apa kita gak salah tempat duduk Lia?”…Ssssstt kuletakkan ibu jariku di bibir,mengisyaratkan pada kak Desi untuk tidak melanjutkan pembicaraan. Kuberi kode agar dia membaca WhatsAppnya, dan aku mengetik dengan cekatan, bahwa Mr.Chin Hae , bisa dan paham berbahasa Indonesia, jadi jangan sampai salah cakap, dan kulihat kak Desi mengangguk setelah membaca pesan ku. Kami makan dengan saling memandang ,kaku, aku lupa menyapa si Beku,.. maaf Mr. Chin, mari makan, sapaku, kak Desi mengangguk sebagai sapaan hormat kami. Dia hanya melihat dan mengangguk tanpa kata sepatahpun, senyum? Apa lagi!.. Benarkan??? Dia beku, gumamku dalam hati. Kami menyelesaikan makan siang tanpa bersuara, dan siang hari ini selera makanku hilang, benar- benar tak ada selera makanku.
“Permisi Mr. Chin, kami duluan meninggalkan meja ini, mau kembali ke ruang rapat,Sapa kak Desi dengan santun. Kamu tau reaksinya? Dia hanya menatap kak Desi dan aku secara bergantian, dan mengangguk” yap, silahkan” titik, tanpa senyum ataupun sekedar basa - basi pada karyawannya. Aku dan kak Desi berjalan tanpa melihat lagi pada si Beku.
Sebelum meninggalkan ruanagan ,Aku meihat Dini ,Ira duduk berempat dengan Riko dan David anak keuangan, di meja Utama kulihat bu Kun, pak Hendro dan Mr. Song Dhu Koen asik berbicara dengan serius. Semua masih asik makan dan ngobrol, hanya aku dan kak Desi yang sudah menyelesaikan makan siang. Makan siang yang beku, karena duduk bersebelahan dengan Mr. Chin Hae.
“Kak, ke meja Ira bentar yok, “ sapa ku pada kak Desi. Belum sempat dia menjawab, aku sudah menarik tangannya mendekati meja Ira dan Dini. ‘Hei,,, kelewatan yah” kataku pada mereka.
“Kalau mau makan aku ditinggal, tapi kalau lembur ngajak aku”. Gerutuku pada mereka.
‘Heii, non, kita teman profesional lho!’ jawab Dini dengan gelegar suaranya..dan kami tertawa bersama dengan suara tertahan, kami menyadari ruangan ini penuh dengan petinggi perusaahan.
“Sabtu, nonton yuk” ajak Ira. Aku serta merta mengangguk dan diikuti anggukan Dini dan kak Desi.
“ Sekalian temani aku ke Toko buku, pintaku pada mereka.” Dini membelalakkan matanya padaku, “Bah! buku yang kamu beli minggu lalu sudah dibaca semua?” tanya Dini. Aku hanya tersenyum saja, dan dia sangat tau aku boros dalam membeli buku. Dan sebahagian buku itu juga belum ku baca.
Obrolan kuhentikan ketika aku merasa ada sesuatu atau apalah yang membuat aku merasa tidak nyaman, aku merasa diamati, oleh siapa? Aku juga tidak tau, hanya feelingku, perasaanku saja… dan biasanya firasat ini selau benar. “ Lho, kok bengong non, mulai deh alam bawah sadar menerawang” ucap Ira sambil menahan tawa, jika dia menahan tawa, maka tubuhnya akan berguncang dan kutahan tawaku. Sementara Dini menatapku penuh khawatir. “ napa Mak? Tanyanya padaku. “Gak ah, tak ada apa-apa, Cuma keselek” jawabku, sambil menarik tangan Kak Desi melintasi ruangan makan yang megah itu.
Aku berjalan menuju pintu keluar ruangan makan ini tanpa memperhatikan sekelilingku, hampir aku menabrak vas bunga kristal besar yang dipajang pada ruangan ini.” Awas!” suara berat menahan langkahku dan kurasakan tarikan pada lengan atasku, mendekati bahuku. Aroma Bulgari Extreme terhidu olehku, aku shok, mataku berkunag-kunang. Merasa cemas, andaikan vas bunga kristal itu jatuh dan pecah. Hadeeeeh, berapa duit yang harus aku keluarkan untuk menggantinya.
Aku merasakan pegangan di bahuku mulai mengendur, dan aku baru menyadari. Hampiiir lagi. Dan hari ini dua peristiwa yang sama, vas bunga yang tersenggol karena kecerobohanku, yang pertama di lantai lima di ruang galeri lukisan, dan yang kedua, barusan kualami di ruang makan ini. Aku mengibaskan lenganku secara reflek, dan pegangan itupun terlepas, aku mendongakkan kepalaku untuk melihat pemilik suara berat yang telah menahan lenganku dan memegang vas bunga.
“Next time, you have to walk more carefully, it wiil be dangerous for all”. Dan dia berjalan meninggalkanku yang masih terpana dengan kejadian barusan. Aku hanya melihat punggungnya yang terbungkus kemeja hitam dan celana jins berjalan meninggalkan ruangan makan dan melintasai lobi menuju lift. Suara berat itu menasehatiku dengan bahasa Inggris yang fasih. Kak Desi masih melihatku dengan penuh was-was. ‘Kamu ni Lia, kalau jalan lihat -lihat laaah, ini main sambar saja, untung vas bunga itu tidak jatuh dan pecah.” omelan kak Desi sepanjang jalan di koridor lobi kantor menuju lift.Aku hanya terdiam dan tetap berjalan, seolah-olah itu hal biasa.
“kak, siapa yang nahan vas bunga tadi tu?” Tanyaku pada kak Desi.
“Sakit lho lenganku dicengkramnya, awaslah, kalau lebam” omelanku sambil mengusap lengan kananku yang terasa sedikit pegal.
“Kamu bukannya berterimakasih sudah ditolong, malah ngancam” kalau tidak ada dia, bisa jadi vas bunga kristal itu pecah dan melukaimu, dan aku Lia…” jawab kak Desi sedikit emosi, aku hanya nyegir,” maaf kak” jawabku.
Kami berjalan beberapa depa lagi, sampailah di depan pintu lift, Sekurity mempersilahkan kami naik ke lantai 5.
Ada rasa bersalah dan penasaran,,, ya, penasaran dengan firasatku selalu merasa diawasi dari kejauhan, siap sih yang membuat aku kalang kabut begini???? (Lasiakabran)
Posting Komentar untuk "Koreansan 6 A. 1"