SANG JENDRAL
Aku tersentak terjaga dari tidur lelap yang
melenakanku, waduh! terlambat, batinku. Sayup suara gharim Masjid
Muthmainnah membaca surat Yassin
terdengar dari kejauhan..Biasanya setiap hari Senin aku bangun lebih awal,
pukul 04.00 aku sdh mempersiapkan diri untuk sahur, makan di subuh buta karena
aku berniat untuk laksanakan puasa sunah.
Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 04.30, sesaat lagi Adzan Subuh
akan berkumandang..
Kubuka jendela tua yang terbuat dari papan,
setiap dibuka akan mengeluarkan bunyi derak kayu, kuganjal dengan potongan kayu
yang disediakan untuk menahan agar jendela tidak tertutup jika diterpa angin,
kulihat fajar diufuk belum menampakkan dirinya, kututup kembali jendela, dan kupalangi
kembali seperti semula. Cukuplah sahur kali ini kuisi perutku
dengan 7 buah kurma dengan dua gelas air hangat. Aku bergegas ke kamar
mandi yang terletak di belakang rumah petak yang kusewa. Jarak antara rumah ke
kamar madi berjarak 30 meter, kamar mandi ini digunakan secara bersama-sama
dengan penyewa yang lain. Kubuka pintu
belakang rumah menuju kamar mandi umumt, masih gelap, ada sebersit sinar dari
rumah sebelah tetanggaku,di jalan setapak menuju sumur tempat kami membersihkan
diri dn mencuci sesuai kebutuhan diterangi lampu colok yang terbuat dari kaleng
bekas yang diletak di atas sebatang kayu dan ditanamkan ke tanah, dan di atasnya
diletakkan lampu colok, dan ada 2 lampu colok yang menerangi jalan setapak
menuju sumur umum tersebut.
“ Dah jage bu Guru? Sapa Ani, ibu muda
tetanggaku. “Nak sekolah lagi? Hari masih gelap, azan pun belum”.
“Tak lah, baru selesai sahur,nak berwuduk, dah
jage dikau Ni? Lena tidur budak tu? Kubuka dialog subuh dengan Ani, ibu muda
yang memiliki bayi berumur 2 bulan, diusia 18 tahun seudah memiliki seorang
bayi. Sementara aku? Usia 23 tahun
merantau ke daerah pesisir ini, sebagai guru SD Negeri di Desa yang belum
tersentuh dengan kecanggihan teknologi...
Sinar mentari pagi hari ini hangat terasa di
kulitku, aku mengeluarkan sepedaku dari gudang yang terletak disebelah rumah
sewaku, gudang itu digunakan sebagai tempat penyimpanan pinang yang sudah
kering dan pinang basah yang akan
dijemur . Induk semangku. Pemilik rumah sewa memiliki puluhan pohon pinang yang
ditanamnya sebagai pembatas tanahnya dengan tanah tetangga. Kuhela sepeda keluar gudang, dengan mengucapkan bismillah, kudayung
sepedaku menuju tempatku bertugas, mengajar merupakan kegiatan rutinku berangkat
dari rumah pukul 6.00 pagi hingga usai
kegiatan di sekolah pukul 16.00.
Kudayung sepedaku sambil berzikir disetiap
tekanan kakiku di pedal sepeda secara bergantian kaki kiri dan kanan. Sayup
kudengar derit dayungan sepeda,dari kejauhan kulihat Rizal mendayung sepedanya.
Bocah ini selalu berpapasan denganku setiap pergi ke sekolah. Pagi ini dia
seperti tergesa-gesa mendayung sepedanya. Dan deritan dayung sepedanya sebagai
pertanda bagiku, saat ini jarum jam menunjukkan 6.30.
“Assalamualaikum bu Guru” sapanya ketika aku
berpapasan dengannya. Kulihat sepeda tua milik ayahnya sudah tidak layak pakai
lagi, namun dikarenakan jarak rumah dengan sekolah hampir 10 km, maka dibawanya
juga sepeda tua itu. “alaikumsalam Jal, dah elok sepeda dikau tu? Tanyaku
sekedar ingin tahu.
“ Elok
tak elok lah bu, tadi mak cakap, sepeda ni dijual aje same Yong Dolah. Dapat
lah duit penjualan sepeda ni untuk beli beras” jawabnya sambil tetap menatap
kedepan, ke jalan tanah yang kami lalui. Aku hanya tercenung menatap jalan raya
satu satunya di kampung ini, dan tanpa aspal.
Pilu hatiku mendengar cerita Izal, bocah yang
akan melepaskan sepeda tua peninggalan ayahnya yang sore nanti akan berganti
dengan sekarung beras 10 kg.
“Zal, andai sepeda kamu nanti sore dijual ke
Yong Dolah, bagaimana nanti kamu pergi sekolah?” tanyaku sambil mendayung
sepeda, dan kami beriringan mengayuh
sepeda meuju ke sekolah tempatku mengajar, dan sekolah dimana Rizal menuntut
ilmu. Derit sepedanya cukup keras setiap dia mendayung sepedanya.
“ saya sekolah dengan berjalan kaki je bu,”
jawabnya sambil tersenyum. Aku membayangkan bocah kelas 4 SD berjalan kaki
sepanjang 10 km di pagi buta, dan suasana jalan masih kelam.
“ Tak takut dikau Zal? Tanyaku spontan dengan
bahasa daerah .
“ Takut ape bu? Saye dah biase bejalan jauh.
Tak lah takut” masih dengan senyuman dijawabnya pertanyaanku.
“Pukul berapa kamu nanti berangkat dari rumah
menuju ke sekolah? yang ibu tau, jarak rumahmu dengan sekolah 10 km, cukup jauh
kan?” tanyaku penasaran.
“Lepas sholat subuh saya jalan bu, kurang lebih
1 jam memakan waktu perjalanan kaki dari rumah ke sekolah. Diperkirakan pukul
6.30 saya sudah sampai di sekolah, takkan terlambat”. Jawabnya antusias. Aku
hanya tersenyum melihat semangat peserta didikku ini.
Tanpa terasa pohon pinang yang berderet di
sepanjang halaman sekolah sudah terlihat dari kejauhan. Deretan pohon pinang
itu sangat mencolok mata, batangnya dicat dengan warna kuning menyala,
sepanjang 1 meter. Dilihat dari kejauhan, sekolah itu seperti dipagari oleh
pohon pinang yang batangnya berwarna kuning. Sepeda kami dayung dengan perlahan
dan aku memberikan jalan untuk Rizal melintasi jembatan yang melintang di atas
parit besar yang dibawahnya mengalir air laut jika pasang terjadi. Jembatan itu
terbuat dari batang pinang menuju
halaman sekolah. Rasa gamang masih kurasakan setiap meniti jembatan depan
sekolah ini. Beberapa waktu yang lalu
duduk berteduh buaya muara di parit ini cukup besar.
Sepeda ku sandarkan di tiang dibalik ruang
majelis guru, tak lupa kukunci sepedaku yang menyati dengan iang yang sengaja
dibuat oleh penjaga sekolah sebagai sandaran sepeda-sepeda guru. Aku berjalan
menapaki selasar kelas menuju ruang majelis guru.
Mentari masih sayu menatap ruang belajar yang
ada di sekolah. Beberapa pelajar berdatangan satu persatu, ada yang naik sepeda
diatnar orang tuannya, atau mereka membawa sepeda sendiri, dan itu tidak
banyak, karena bersepeda merupakan kendaraan paling mewah di kampung ini. Ada
yang berjalan berdampingan dengan orang tuannya yang mengantar anaknya dan
setelah itu sang ayah akan melanjutkan perjalanannya menuju ke ladang mereka.
Teng..teng..teng..bunyi pukulan besi martil
beradu dengan plat baja roda Mobil berdentang bertubu tubi,,, pertanda jarum
jam sudah menunjukkan pukul 06.50. Bunyi khas yang hanya bisa didengar di
sekolah kami, tidak di kota- kota besar yang menggunakan bel yang bunyinya
lebih merdu dengan suara deringan dan himbauan berbaris menggunakan bahasa
Inggris dan bahasa Indonesia, secara otomatis yang digerakkan listrik. Bel
sekolah yang digerakkan listrik merupakan barang mewah bagi sekolah kami.
Jangankan bel sekolah, listrik hanya ada di malam hari.
Anak-
anak bergegas berlarian menuju halaman sekolah, bersiap siap untuk berbaris,
pagi ini berketepatan hari Senin awal
bulan Agustus, dimusim hujan. Halaman sekolah kami cukup luas, hamparan rumput
melapisi tanah rawa yang ditimbun oleh masyarakat, orang tua wali murid, di tengah
hamparan rumput tersebut berdiri tiang bendera yang tebuat dari besi dengan
gagahnya.
Alhamdulillah pagi ini udara cerah, petugas
upacara awal bulan ini dari kelasku, kelas empat. Kulihat anak- anak yang
bertugas sudah mengambil tempatnya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.
Ucok sebagai komandan upacara berdiri di tengah lapangan, Reni sebagai pemandu
Lagu berbaris sejajar dengan tim penaik bendera, Ipah membawa bendera,
sedangkan Rizal dan A yong mendampingi di kiri kanan sebagai penarik tali
bendera. Adul membaca doa, anak yang kelihatannya lebih anteng dan kalem, A Hui
membaca UUD 45 suaranya bagus ketika melantunkan ayat suci. Upik berdiri di sebelah
kiri pembina upacara. Awal bulan ini pembina upacara kepala sekolah SD Negeri 3 Sukajadi. Lelaki
paruh baya yang kharismatik, tampilannya sederhana, bersahaja dan selalu
menggunakan kopiah hitam, yang warnanya sudah pudar.
Upacara bendera terlaksana dengan baik, tanpa
kesalahan yang dilakukan anak- anakku. Mereka berlatih dari hari Kamis, Jumat
dan Sabtu, jadi cukup waktu untuk berlatih, dan hasilnya memuaskan semua.
Sebagai wali kelas aku merasa bangga dan bahagia.
Jadi ingat pada saat latihan, mereka semua bermalas-malasan
dan tidak serius, hanya bersenda gurau membuang masa. Ketika aku memanggil
mereka untuk latihan, dan menyampaikan keinginanku untuk melatih mereka, dengan
senyum A Hui bertepuk tangan. Aku
bertanya pada A Hui, mengapa dia tersenyum dan bertepuk tangan.
“ saye suke ibu latih, kalau tak...bile mase
nak pandai? Rizal same A Seng tu begelut je bu. Tak ade nak serius, kesal hati,
bengal budak tu!”.
Aku mendengar omelan A Hui, gadis mungil ini
bawaannya memang agak serius untuk seusianya. Jarang berkumpul dan bermain
dengan temannya, kuamati dia lebih senang menyendiri di bawah pohon manggis di
samping ruang majelis guru, atau bermain dengan Inong anak penjaga Masjid di
desa kami. Mereka berdua selalu duduk
diantara deretan sepeda dengan lembaran buku atau secarik kertas yang
digunakannya untuk menggambar.
“Halloooo anak-anak, ayo kumpul semua di
lapangan”, teriakkanku mengejutkan mereka yang sedang asik bermain. Kulihat
mereka berlari dengan semangat menuju titik kumpul di lapangan, tepatnya di
bawah tiang bendera. Aku menunggu mereka sambil menghitung jumlah mereka yang
mulai berdatangan. Anak- anak mulai berlatih dengan serius, aku mengamati dari
keteduhan rindangnya dahan manggis. Aku berjalan menuju barisan mereka, latihan
kusudahi dan kuanggap mereka sudah bagus dan tertib melaksanakan latihan
upacara tersebut. Alhamdulillah, hari ini Senin minggu ke-dua giliran
anak-anak kelasku melaksanakan upacara bendera
yang dilaksanakan secara bergiliran setiap bulan berjalan dengan baik dan
sukses.
Mendidik anak - anak usia sekolah dasar
diperlukan ketegasan yang diimbangi dengan kasih sayang dan contoh bergerak.
Maksudku contoh bergerak, aku melakukan apapun yang menurutku bahagian dari
pendidikan dan kulakukan bersama anak - anak didikku, tanpa sungkan dan tiada
batas antara aku dan mereka. Hari ini tunai sudah tugas mereka menjadi
pelaksana upacara bendera dan kulihat senyum mereka merekah ketika dipuji oleh
beberapa orang guru dan temannya. Ijal tertawa lepas ketika dipuji A Hui dan
Inong karena sikap berdiri sebagai komandan upacara seperti jendral Sudirman.
Lasia Kabran
Mantap
BalasHapusdimantapkan, makasih tante cantik sudah singgah di blok saya..
HapusWaduh... Jd tante2 Saya Buk...
Hapus